kau yang meminta aku untuk meninggalkan mu
sebab cinta tlah layu tak ingin lagi menyatu
terdiam aku tak tau mengapa kau merubah
kata itu merobekan hati ku yang rapuh....
kau yang memaksa aku untuk meninggalkan mu
jangan ada yang tau aku pernah memilikimu
terdiam aku tak tau mengapa kau merubah
namun bila lelah hidupmu tak lagi menyanjungmu....
reff:
ku relakan engkau melakukan apa saja yang kau mau
meski berat aku tak percaya melepasmu aku rela.....
pergilah dengan nya mencari langit yan lebih biru.....
langit yang lebih biru
bersamanya.....
bersamanya.......
Ada sebatang pohon di depan rumahku, entah apa namanya, mungkin sejenis mangga. Meskipun aku yakin dia pohon buah, dia belum pernah berbuah, tapi berdaun lebat. Aku pernah memaki padanya, "Pohon macam apa kau!? Tak ada buah kauhasilkan bagiku! Kau tahu, setiap sore aku menyiramimu, tapi kau cuma guguran daun yang kau hasilkan, membuatku harus menyapu sepanjang sore! Dasar tak tahu terimakasih!"
Dan demikianlah aku mulai mengabaikan si pohon. Daunnya meranggas karena panas. Berguguran karena mulai lemah dan mati. Mati karena kurangnya air yang menghidupi. Aku tak mempedulikannya, aku melupakannya.
Hari itu matahari menyengat, tetanggaku berkata, "RA" sayang lho pohonnya mati. Kan jadi panas..." Benar juga, kusadari bahwa belakangan halaman rumahku terasa gersang. Tapi apa peduliku? Toh kalau panas ya tinggal masuk rumah.
"RA, pohonnya kok gak ada daunnya lagi to?" kata seorang tukang bakso, "Padahal dulu lebat banget." Batinku, sudah untung aku beli baksomu! Ngapain ngurusin pohon orang!?
Esoknya, sorang pemulung berdiri mematung memandang pohonku. Wajahnya terlihat sedih, entah belum makan atau memang seperti itu sejak lahir. Aku jadi makin heran, kenapa sih banyak orang yang sok peduli pada pohonku? Atau mereka memang peduli? Atau mereka merasa kehilangan?
Malam ini aku bulatkan tekad, aku akan memberi kesempatan sekali lagi pada pohonku. Berbuah atau mati! Maka, akupun kembali menyiramnya setiap sore. Memberi pupuk dan memotong ranting dan daun yang mati, berharap dia dapat pulih kembali, dan berbuah kelak.
Entah berapa lama aku mulai merawat pohon itu lagi. Daunnya yang hijau kembali rimbun. Namun, buah yang aku tunggu itu tak jua muncul. "ASU!!" umpatku. Apa maunya pohon ini!? Aku yakin dia pohon buah, tapi mana buahnya!? Dasar pohon mandul!!
Hari itu matahari sedang birahi, panasnya serasa dapat mematangkan telur di atas aspal. Aku memandang pohonku dari dalam kamarku yang berpendingin. "Akan kubiarkan pohon itu mati mengering," gumamku, "tak sudi aku menyiramnya sore ini!"
Namun, sesaat kemudian tetangaku lewat. Entah mau kemana dia, tapi dia berhenti sejenak di bawah pohonku. Dia mengusap keringatnya, tersenyum tipis, seiring si mas-mas tukang bakso lewat. Dia memarkir gerobaknya di bawah pohonku. Pembicaraan mengalir diantara mas tukang bakso dan tetanggaku, entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas sesaat kemudian mas tukang bakso meracik semangkuk bakso.
Selang beberapa saat, si pemulung yang dulu melintas. Wajahnya sama kumalnya, tapi entah mengapa ia terlihat sedikit gembira. Dia berjalan menuju pohonku, tapi membatalkannya, melihat tetanggaku yang makan bakso. Mungkin dia takut baunya mengganggu.
Ketika si pemulung beranjak, sayup kudengar tetanggaku berteriak memanggilnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Si pemulung terlihat menolak, tetanggaku terlihat memaksa, seiring si mas tukang bakso meracik semangkuk bakso lagi. Dan si pemulungpun luluh dan makan bakso itu dengan lahapnya.
Semua itu terjadi di depan rumahku, terlihat dari jendela kamarku, tepat di bawah pohonku. Seketika aku tersentak... Aku tersadar... Aku menyesal... Lalu bersyukur...
Aku sadar, pohonku telah memberikan yang terbaik dari dirinya, memberikan keteduhan. Meski tidak berbuah bagiku, dia "berbuah" bagi orang lain. Tetanggaku, tukang bakso, pemulung, mereka cuma ingin berteduh. Ketika pada akhirnya mereka terlibat pada suatu rangkaian perbuatan mulia, itu adalah hal lain.
Aku menyesal pernah mengabaikan pohonku. Bahkan aku ingin membiarkannya mati mengering. Aku menyesal tak menghargai kehidupan yang ada.
Aku bersyukur, aku terlibat dalam sebuah rantai kasih antara aku, pohon, tetanggaku, tukang bakso, dan pemulung. Meskipun aku tidak memaksudkannya. Aku hanya merawat pohonku, mencoba menghargai kehidupan, meskipun dengan pamrih. Namun dampaknya membentuk rantai kasih yang luar biasa. Tetanggaku ingin berteduh, dia dihampiri mas tukang bakso yang juga ingin berteduh. Tetanggaku membeli bakso, mas tukang bakso dapat pemasukan. Si pemulung ingin berteduh namun sungkan dan malah ditawari bakso oleh tetanggaku. Ternyata si mas tukang bakso memberi diskon atas baksonya...
Sejenak aku menghela nafas, lalu aku berpikir... Kebaikan adalah sebuah benih yang kita tanam. Benih itu harus dirawat supaya tumbuh dan berbuah. Buah itu terkadang justru lebih bermanfaat bagi orang lain. Tapi aku yakin, aku tetap akan mendapat buah dari pohonku dan dari pohon yang lain karena aku telah merawat pohonku sendiri dan membagi hasilnya dengan orang lain... Yang jelas, buah tidak terikat pada suatu bentuk. Buah itu misterius, namun akan selalu ada dan masak pada waktunya, dikala seseorang membutuhkannya...